A man who writes everything he want.

Wednesday, 10 October 2018


Tahun ini saya menghadiri lagi salah satu festival musik terbesar di Indonesia. Iya, apalagi kalau bukan Synchronize Festival. Cukup menyenangkan bisa menghadiri acara sebesar Synchronize Festival. Ada banyak musisi/band "langka" yang bisa saya tonton di sana. Jadi, memang wajib sepertinya menghadiri festival ini setiap tahunnya.

Saya datang di hari kedua sekitar pukul setengah 6 sore. Saya sedikit terlambat untuk menyaksikan .Feast yang memang menjadi band utama yang ingin saya saksikan penampilannya. Saya hanya mendapati dua lagu terakhir, "Kelelawar" dan "Peradaban". Tidak apa, yang penting saya berhasil nonton.

Usai break Maghrib, saya memutuskan untuk menyaksikan Down For Life. Belum selesai Down For Life bermain, saya pergi ke stage lain untuk menyaksikan band rock legendaris tanah air, Godbless. Kemarin itu adalah kali kedua saya menyaksikan langsung penampilan Achmad Albar bersama konco-konconya di atas panggung. Cukup senang karena masih bisa menyaksikan band setua Godbless meski tidak terlalu hafal dengan lagu-lagunya.

Setelah Godbless selesai menghibur, saya pindah ke stage lain untuk menyaksikan NDX AKA. Saya pikir, kapan lagi bisa menyaksikan mereka di Jakarta? Mereka ini cukup menghibur dan membuat pinggul bergoyang. Keren sekali.

Berjalan sedikit ke stage lain sembari mengantri beli minum, saya menyaksikan penampilan dari Goodnight Electric. Lumayan juga, jadi tidak bosan ketika mengantri waktu itu. Setelah itu saya melanjutkan petualangan untuk menyaksikan band indie pop asal Jogja, Grrrl Gang. Meskipun merasa gerah dan sesak, tapi saya sangat menikmati penampilan Grrrl Gang. Meskipun (lagi) tidak terlihat wajah-wajah para personilnya, tapi bukan masalah. Yang penting sudah mencicipi live mereka.

Semakin malam, semakin seru. Saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan menyaksikan band oktan tinggi, Seringai. Meskipun sudah sering menonton mereka, tapi mereka baru saja mengeluarkan album. Jadi seperti ada perasaan harus ikut berpartisipasi dalam program party Seringai.

Rhoma Irama & Soneta awalnya menjadi penampil terakhir yang ingin saya tonton. Tapi setelah lelah bergoyang dengan tembang-tembangnya yang cukup lama, akhirnya saya memutuskan untuk berpindah stage dan menyaksikan Diskoria Selekta sebagai penampil terakhir yang saya saksikan hari itu.

Synchronize Festival tidak pernah mengecewakan meski baru dua kali saya menghadiri festival besar ini. Semoga berlanjut terus dengan penampil yang semakin beragam lagi.

Thursday, 4 October 2018


Akhir-akhir ini saya sedang asyik memutar album kedua .Feast yang berjudul Beberapa Orang Memaafkan. Sebuah mini album yang berisikan enam buah lagu di dalamnya. Tiga di antaranya; "Peradaban", "Berita Kehilangan", dan "Kami Belum Tentu" dirilis berturut-turut selama tiga bulan dan sisanya menyusul dirilis secara bersamaan.

Saya suka dengan lirik-lirik di album ini karena semuanya berbahasa Indonesia. Jadi saya tidak perlu repot-repot men-translate tiap kata atau kalimat untuk bisa menerka-nerka, "kira-kira lagu ini tentang apa, sih?"

Lagu pertama yang keluar adalah "Peradaban". Lagu ini merupakan lagu favorit saya di album ini. Di awal lagu, .Feast seakan mengajak pendengarnya untuk menyebarkan lagu ini. Sebuah ajakan yang menarik untuk memulai perjalanan mengarungi sebuah peradaban. Oh ya, di lagu ini .Feast meminjam potongan lirik milik Banda Neira dari lagu "Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti".

Lanjut ke lagu kedua yang dirilis .Feast adalah "Berita Kehilangan". Di lagu ini, .Feast berkolaborasi dengan Rayssa Dynta. Lagu tentang kematian seorang anak dan sosok ibu yang berusaha mengikhlaskan. Lagu ini mengingatkan saya dengan banyak hal. Dari orang-orang yang dihilangkan beberapa tahun lalu dan masih patut dipertanyakan siapa 'dalang'-nya, juga orang-orang yang harus kehilangan nyawa akibat rivalitas suporter sepak bola. Di lagu ini, .Feast kembali meminjam potongan lirik dari musisi lain, yakni "Taifun" milik Barasuara.

"Kami Belum Tentu" terdengar seperti penolakan sekelompok orang untuk melupakan sejarah dan pertanyaan mengenai "siapa pemimpin yang layak dan mampu menjadi wakil rakyat yang benar". Apalagi ya? Sepertinya cuma itu.


Kalau melihat dari judulnya, "Padi Milik Rakyat" bercerita tentang petani. Tapi setelah didengarkan lebih jauh lagi lagunya, sepertinya tidak hanya itu. Seperti menyindir para koruptor dan para pemilik pabrik atau apapun itu, yang mengambil paksa lahan petani. Hal ini mengingatkan saya dengan kasus penganiayaan Salim Kancil tahun 2015 lalu di Lumajang.

Pada "Apa Kata Bapak" .Feast berkolaborasi dengan Sir Dandy. Sir Dandy seperti berpidato mengenai Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dan yang terakhir adalah "Minggir!" yang mengusir para penguasa dari balik layar kaca, yang hanya menebar dusta demi membela diri dan apapun itu.

Sekiranya, itulah yang saya tangkap dari mini album ini. Tulisan ini belum tentu benar adanya. Mungkin bisa jadi salah. Jadi jangan ditelan mentah-mentah. Kalau saya benar, berarti album ini memang harus disebarluaskan lebih jauh lagi supaya ada pihak-pihak yang tersindir atau minimal mengingatkannya pada suatu hal.

Selamat dan sukses.

Monday, 13 August 2018

Jadi bulan Februari 2018 kemarin, saya dan beberapa teman kampus menggelar sebuah acara bernama Soundmester. Acara ini dibuat atas dasar iseng-iseng belaka untuk mengisi waktu libur perkuliahan. Waktu itu lokasi acara bertempatan di Warung Apresiasi, Bulungan, Jakarta dan diisi oleh teman-teman satu kampus yang masuk dalam sebuah band dan seorang rapper yang juga merupakan teman satu kampus juga. Waktu itu yang jadi pengisi acara adalah Toilet Surfers, Rabr, The Stonedbrothers (band saya), Blackdog Kamasutra, Kecoa Terbang, Disguises, Luneism, Dongker, dan Crunkguns. Yang datang menonton saat itu juga mayoritas adalah anak-anak yang satu kampus dengan saya. Jadi semacam acara nongkrong bareng, tapi ada band pengisi acara juga yang menemani malam itu.



Gak mau acara selesai sampai di situ, kita--saya dan teman-teman panitia--membuat Soundmester Vol.2. Acaranya hari Minggu kemarin, tanggal 12 Agustus 2018 di Miss Qi, Panglima Polim, Jakarta. Agak berbeda sih dengan gelaran sebelumnya. Pengisi acara di Soundmester Vol.2 ini lebih banyak diisi oleh band-band dari luar kampus. Tapi gak masalah, karena yang penting adalah senang-senang dan menambah temannya.

Di Soundmester Vol.2 yang dipilih sebagai pengisi acara adalah Vanilla Clove, Coff, Surkensonik, Disguises, Setan Kesetrum (band asal-asalan saya), Manumanasa, The Broto, Klasgenot, dan The Postman. Meskipun mungkin tidak seramai di volume pertama, tapi saya cukup senang bisa ambil bagian di acara kecil-kecilan seperti Soundmester ini.

Doakan saja semoga ke depannya Soundmester bisa terus berlanjut dan bisa mengundang band-band keren lainnya yang semakin beragam.

Friday, 25 May 2018


Kalau ngomongin soal kaum Hawa yang punya profesi--baik sampingan maupun utama--sebagai musisi, yang ada di kepala saya pertama kali adalah, "lagunya pasti melow dan mendayu-dayu". Setuju gak? Saya tau, kalau gak semua musisi wanita itu karyanya melulu soal cinta dan galau semata. Kayak band asal kota kembang yang satu ini, nih. Namanya Bananach.

Band yang berpersonil Karina (vokal), Mojan (gitar), Azni (gitar), dan Fay (drum) ini menawarkan musik yang berbeda dengan musisi (lokal) wanita kebanyakan. Coba saja dengar single perdana mereka yang berjudul, "Aphrodites", anda pasti akan menemukan sendiri perbedaannya.



Tapi sebenarnya yang lebih keren dari semua itu adalah, lagu ini punya pesan satir untuk pendengarnya, khususnya para perempuan yang termakan konsumerisme merk dan berhala duniawi. Keren, kan? Sekarang, coba anda sebutkan, di era sekarang ini, berapa banyak musisi perempuan dalam negeri yang karyanya berbicara soal kritik sosial? Cuma sedikit? Atau justru anda kebingungan? Haha. Jadi tidak salah, kan, kalau saya bilang Bananach ini adalah band lokal yang cukup keren?

Hmm.. apa lagi ya? Ah, saya gak tau lagi mau nulis apa. Intinya, Bananach ini band keren yang patut ditunggu kehadirannya, baik album maupun penampilan langsungnya di atas panggung. Tapi yang pertama dan pasti saya tunggu-tunggu adalah kelahiran albumnya. Hehehe.

Semoga sukses dan lekas menjadi besar, Bananach.

Thursday, 24 May 2018


Salah satu yang membuat saya ingin menjadi Jurnalis (khususnya Jurnalis Musik) adalah film Almost Famous! Film yang muncul tahun 2000 ini sukses menginspirasi saya untuk menjadi seorang Jurnalis. Waktu itu saya sedang dilanda kebingungan memilih konsentrasi kuliah, antara Periklanan dan Jurnalistik. Kebetulan, waktu itu posisinya sedang libur kuliah dan saya memilih untuk streaming film saja di rumah. Tema film yang saya cari adalah film-film yang bertemakan musik. Ada banyak, memang. Dan salah satunya adalah Almost Famous.

Singkat cerita, Almost Famous bercerita tentang seorang anak bernama William Miller yang bercita-cita menjadi seorang Jurnalis Musik setelah sebelumnya diberi 'peninggalan' oleh sang kakak, Anita Miller, berupa tas koper tua yang di dalamnya terdapat kumpulan piringan hitam milik Anita, mulai dari Pet Sounds-nya The Beach Boys, Get Yer Ya-Ya's Out!-nya The Rolling Stones, II-nya Led Zeppelin, Axis: Bold As Love-nya Jimi Hendrix, sampai Blonde on Blonde-nya Bob Dylan.

Tapi entah kenapa, William tertarik pada satu piringan hitam yang di dalamnya terdapat secarik kertas yang ditulis oleh sang kakak dan bertuliskan, "Listen to 'Tommy' with a candle burning and you will see your entire future." Akhirnya, ia memutar piringan hitam itu di dalam kamar dengan kondisi lampu kamar dimatikan dan sebatang lilin yang menyala. Kemudian mengalun, lah, "Spark" yang merupakan salah satu nomor di album Tommy milik The Who.


Semenjak itu, kehidupan William, pun, berubah.

Almost Famous--di samping meditasi yang dilakukan William untuk mencari tau masa depannya seperti apa--sukses membuat saya tertarik dengan dunia musik dan jurnalistik. Saya juga sadar betul bahwa kehidupan William dalam film tersebut (mungkin) tidak akan lagi terulang di era milenial ini. Tapi ya namanya juga film, meskipun film itu diangkat dari kisah nyata sang Sutradara, Cameron Crowe, pasti ada sedikit cerita yang dilebih-lebihkan supaya penonton tertarik. Tapi bagi saya, Almost Famous adalah film yang cukup keren. Entah sudah berapa kali saya menonton film tersebut. Hehe.

Film ini sepertinya cocok dikonsumsi bagi mereka yang ingin menjadi seorang Jurnalis Musik atau yang masih bingung ingin menjadi apa di masa depan nanti.

Penasaran? Coba anda tonton sendiri filmnya dan jangan lupa kasih tau saya pendapat anda soal film ini, ya.


*Tulisan ini terinspirasi setelah melihat cuitan Mas Samack di Twitter, dan ditulis sambil mendengarkan full album 'Tommy' di Youtube.

Pageviews

bayupradhana. Powered by Blogger.

Followers

Popular Posts